PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN UMKM PERIKANAN
PENYULUHAN PERIKANAN adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (PermenPAN Nomor: PER/19/M.PAN/10/2008).
Tujuan Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan adalah Pemberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta pendampingan dan fasilitasi dalam pengembangan bisnis perikanan.
Naiknya harga berbagai macam kebutuhan pokok seiring dengan dampak krisis global yang terjadi sejak akhir tahun 2008, dapat berdampak pada naiknya jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Hal tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelaku utama dan pelaku usaha perikanan.
Pendapatan dan produktifitas usaha sebagian besar pelaku utama perikanan (nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan beserta keluarga intinya) masih rendah, sehingga perlu adanya fasilitasi untuk penumbuhkembangan bisnis perikanan dalam mendukung usaha atas kemampuan sendiri (kemandirian progresif).
Pelaku utama dan pelaku usaha perikanan memerlukan bimbingan dan pembinaan secara berkelanjutan, salah satu bentuk kegiatannya adalah melalui penyuluhan perikanan.
Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Perlu kita sadari bahwa kontribusi UMKM dalam PDB semakin besar, namun hambatan yang dihadapinya besar pula, diantaranya kesulitan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi UMKM khususnya pelaku usaha mikro dan kecil, terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan, menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir) hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan bentuk-bentuk yang lain (Wirjo, 2005).
Apabila dilihat dari berbagai peraturan pemerintah UMKM dapat dicirikan sebagai berikut:
1. Usaha Mikro
Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) per tahun. Usaha mikro dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
2. Usaha Kecil
Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Undang-undang No.9 Tahun 1995 adalah usaha produktif yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per tahun serta dapat menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3. Usaha Menengah
Usaha Menengah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998 adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar Rp.10.000.000.000,00, (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) s/d Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Dilihat dari kepentingan perbankan, usaha mikro adalah suatu segmen pasar yang cukup potensial untuk dilayani dalam upaya meningkatkan fungsi intermediasi-nya karena usaha mikro mempunyai karakteristik positif dan unik yang tidak selalu dimiliki oleh usaha non mikro, antara lain :
a. Perputaran usaha (turn over) cukup tinggi, kemampuannya menyerap dana yang mahal dan dalam situasi krisis ekonomi kegiatan usaha masih tetap berjalan bahkan terus berkembang;
b. Tidak sensitive terhadap suku bunga;
c. Tetap berkembang walau dalam situasi krisis ekonomi dan moneter;
d. Pada umumnya berkarakter jujur, ulet, lugu dan dapat menerima bimbingan asal dilakukan dengan pendekatan yang tepat.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa masih banyak usaha mikro yang sulit memperoleh layanan kredit perbankan karena berbagai kendala baik pada sisi usaha mikro maupun pada sisi perbankan sendiri.
Untuk mendorong usaha mikro ini memang disadari bahwa modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau mereka sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang. Salah satu sebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari keberadaan Lembaga Keuangan yang hadir ditengah masyarakat.
Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidak berdayaan inilah yang menjadikan alasan penting mengapa lembaga keuangan mikro yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro menempati tempat yang sangat strategis. Oleh karena itu kita perlu memahami secara baik berbagai aspek lembaga keuangan mikro dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing terkotak-kotak.
Gambar 1. Problem dan Solusi Pengembangan UMKM
Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok yang kemampuan permodalan usahanya rendah. Rendahnya akses UMKM terhadap lembaga keuangan formal, sehingga sampai dengan akhir tahun 2007 hanya 12 % UMKM akses terhadap kredit bank karena :
a. Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UMKM;
b. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UMKM;
c. Biaya transaksi kredit UMKM relatif tinggi;
d. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal);
e. Terbatasnya akses UMKM terhadap pembiayaan equity;
f. Monitoring dan koleksi kredit UMKM tidak efisien;
g. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga biaya pelayanan UMKM mahal;
h. Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UMKM.
Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial membuat UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya (http://one.indoskripsi.com/content/lembaga-keuangan-mikro,Posted January 15th, 2008 by fan_dunk).
Menurut Wirjo (2005), Lembaga keuangan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Aktifitas ekonomi disini tidak membedakan antara usaha yang dilaksanakan tersebut besar atau kecil, karena yang membedakan hanya besarnya nilai tambah berdasarkan skala usaha. Hal ini berarti bahwa usaha kecilpun jika memanfaatkan lembaga keuangan juga akan memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya meningkatkan pendapatan masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara yang produktif dengan memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk usaha produktif yang dilakukan oleh masyarakat miskin.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari pemerintah misalnya, program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana, maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Secara hipotesis, kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro (Wirjo, 2005).
Akses kredit pada LKM maupun perbankan hanya dapat dilakukan oleh pelaku utama atau kelompok pelaku utama yang dapat memenuhi prinsip-prinsip perkreditan (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of social, economy and environment, and Constraint), sehingga diperlukan penambahan penambahan kompetensi/kemampuan pelaku utama sebagai anggota kelompok melalui kegiatan penyuluhan perikanan.
Tujuan Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan adalah Pemberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta pendampingan dan fasilitasi dalam pengembangan bisnis perikanan.
Naiknya harga berbagai macam kebutuhan pokok seiring dengan dampak krisis global yang terjadi sejak akhir tahun 2008, dapat berdampak pada naiknya jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Hal tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelaku utama dan pelaku usaha perikanan.
Pendapatan dan produktifitas usaha sebagian besar pelaku utama perikanan (nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan beserta keluarga intinya) masih rendah, sehingga perlu adanya fasilitasi untuk penumbuhkembangan bisnis perikanan dalam mendukung usaha atas kemampuan sendiri (kemandirian progresif).
Pelaku utama dan pelaku usaha perikanan memerlukan bimbingan dan pembinaan secara berkelanjutan, salah satu bentuk kegiatannya adalah melalui penyuluhan perikanan.
Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Perlu kita sadari bahwa kontribusi UMKM dalam PDB semakin besar, namun hambatan yang dihadapinya besar pula, diantaranya kesulitan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi UMKM khususnya pelaku usaha mikro dan kecil, terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan, menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir) hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan bentuk-bentuk yang lain (Wirjo, 2005).
Apabila dilihat dari berbagai peraturan pemerintah UMKM dapat dicirikan sebagai berikut:
1. Usaha Mikro
Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) per tahun. Usaha mikro dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
2. Usaha Kecil
Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Undang-undang No.9 Tahun 1995 adalah usaha produktif yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per tahun serta dapat menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3. Usaha Menengah
Usaha Menengah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998 adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar Rp.10.000.000.000,00, (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) s/d Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Dilihat dari kepentingan perbankan, usaha mikro adalah suatu segmen pasar yang cukup potensial untuk dilayani dalam upaya meningkatkan fungsi intermediasi-nya karena usaha mikro mempunyai karakteristik positif dan unik yang tidak selalu dimiliki oleh usaha non mikro, antara lain :
a. Perputaran usaha (turn over) cukup tinggi, kemampuannya menyerap dana yang mahal dan dalam situasi krisis ekonomi kegiatan usaha masih tetap berjalan bahkan terus berkembang;
b. Tidak sensitive terhadap suku bunga;
c. Tetap berkembang walau dalam situasi krisis ekonomi dan moneter;
d. Pada umumnya berkarakter jujur, ulet, lugu dan dapat menerima bimbingan asal dilakukan dengan pendekatan yang tepat.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa masih banyak usaha mikro yang sulit memperoleh layanan kredit perbankan karena berbagai kendala baik pada sisi usaha mikro maupun pada sisi perbankan sendiri.
Untuk mendorong usaha mikro ini memang disadari bahwa modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau mereka sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang. Salah satu sebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari keberadaan Lembaga Keuangan yang hadir ditengah masyarakat.
Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidak berdayaan inilah yang menjadikan alasan penting mengapa lembaga keuangan mikro yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro menempati tempat yang sangat strategis. Oleh karena itu kita perlu memahami secara baik berbagai aspek lembaga keuangan mikro dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing terkotak-kotak.
Gambar 1. Problem dan Solusi Pengembangan UMKM
Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok yang kemampuan permodalan usahanya rendah. Rendahnya akses UMKM terhadap lembaga keuangan formal, sehingga sampai dengan akhir tahun 2007 hanya 12 % UMKM akses terhadap kredit bank karena :
a. Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UMKM;
b. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UMKM;
c. Biaya transaksi kredit UMKM relatif tinggi;
d. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal);
e. Terbatasnya akses UMKM terhadap pembiayaan equity;
f. Monitoring dan koleksi kredit UMKM tidak efisien;
g. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga biaya pelayanan UMKM mahal;
h. Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UMKM.
Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial membuat UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya (http://one.indoskripsi.com/content/lembaga-keuangan-mikro,Posted January 15th, 2008 by fan_dunk).
Menurut Wirjo (2005), Lembaga keuangan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Aktifitas ekonomi disini tidak membedakan antara usaha yang dilaksanakan tersebut besar atau kecil, karena yang membedakan hanya besarnya nilai tambah berdasarkan skala usaha. Hal ini berarti bahwa usaha kecilpun jika memanfaatkan lembaga keuangan juga akan memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya meningkatkan pendapatan masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara yang produktif dengan memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk usaha produktif yang dilakukan oleh masyarakat miskin.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari pemerintah misalnya, program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana, maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Secara hipotesis, kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro (Wirjo, 2005).
Akses kredit pada LKM maupun perbankan hanya dapat dilakukan oleh pelaku utama atau kelompok pelaku utama yang dapat memenuhi prinsip-prinsip perkreditan (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of social, economy and environment, and Constraint), sehingga diperlukan penambahan penambahan kompetensi/kemampuan pelaku utama sebagai anggota kelompok melalui kegiatan penyuluhan perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar